Saat itu aku masih TPB, aku ingat sekali. Suara tawa tergelak itu masih kudengar samar-samar, timbul tenggelam di hatiku. Tak terasa telah lama aku tak bersua denganmu, kawanku. Hari ini, izinkan aku menuliskan sedikit cerita tentangmu, cerita yang kuabadikan sebagai salah satu yang terindah di dalam hidupku.
Kita bertemu di suatu pagi yang indah. Tanganmu masih malu-malu menggenggam tanganku, aku pun begitu. Pertemuan ini kelak akan menemukan muaranya. Muara perpisahan yang pantang hilang dan akan selalu terkenang. Di suatu hari di bulan Desember, malam terasa begitu panjang, hujan rintik-rintik menggantikan langit yang biasa dihujani bintang gemintang. Kami empat sekawan berniat menyelesaikan persiapan ujian esok hari dengan mengulang materi dan mencoba menyelesaikan beberapa soal. Tetapi mata ini telah panas, kepala ini begitu pening, badan ini lemas dan tak kuasa lagi menjejalkan rumus-rumus itu di kepala.
Dalam sayup-sayup mataku, kulihat dirimu masih memegang erat pensil itu, sibuk menggoreskan jawaban paling logis yang terbentuk di kepalamu. Kadang kudengar, helaan napas itu sedikit membangunkanku. Tidak mengapa, teman. Teruslah begitu, Indonesia merindukan generasi pantang menyerah sepertimu. Pagi itu, kami menjalani ujian kimia bagi TPB. Ada kurang dari sepuluh soal yang harus dikerjakan agar kami lulus. Kulihat engkau sedang menyiapkan peralatan menulis dan dengan lembut memasukkannya ke dalam tas. Pagi ini engkau tidak banyak bicara pada kami. Aku memahami kedekatanmu dengan-Nya. Seperti malam-malam sebelumnya, saat aku tak sengaja terbangun karena angin malam, kulihat dirimu duduk takzim menghadap kiblat sambil mengangkat tangan. Lalu aku mendengar bisikan-bisikan memohon, begitu tulus dan pasrah. Sesegukan itu membuatku terdiam.
“Ya Allah, lindungilah dirinya, kasihilah dia, sebagaimana ia selalu tulus dan lurus, kumohon padaMu, Ya Rabb,” ucapku lirih. Aku kembali menutup mata , dan tak terasa air mataku telah menetes penuh keharuan. Minggu demi minggu telah kami lewati. Dengan antusiasme yang tetap gemilang, kami menyelesaikan ujian sebaik mungkin, lalu memantapkan hati untuk tetap optimis tanpa berkecil hati. Tidak banyak komentar tentang ujian, itulah perjanjian yang kami sepakati. Namun dalam diam, kami bertanya pada hati masing-masing. Akankah idealisme dan cita-cita yang kami gantungkan masih layak kami perjuangkan. Sementara, bahkan kertas ujian pun tidak genap kami rampungkan. Oi, pantaskah kami disebut mahasiswa?
Hari-hari berlalu, kami sudah tidak sabar menantikan hasil ujian kami. Sambil banyak-banyak berdoa, kami melongok pada kertas putih yang tertempel di tembok ratapan. Hasilnya tidak begitu memuaskan. Dengan berat hati, kami melangkah gontai sambil menghitung kemungkinan terburuk. Sembari menahan air mata yang hendak keluar, aku melirikmu yang saat itu sedang disampingku. Tidak ada tangisan, yang hanya senyum pasrah menghiasi wajah sendumu. Lalu cepat-cepat aku menundukkan kepala, takut tertangkap basah olehmu. Oh kawanku, andaikan aku tahu bahwa ini bukanlah yang terberat untukmu. Nilai ujian sama sekali tidak akan merubahmu hingga menjadi pemurung seperti yang lain. Saat itu, semua baik-baik saja, hingga akhirnya yang terberat itu datang.
Mataku panas setelah mendengar bahwa bapak, orang yang begitu ia kasihi, telah berpulang. Bapak yang selama ini menghidupinya dengan segala rupa kerja. Bapak yang menjadi motivasinya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, kini telah meninggalkannya untuk selamanya. “Bapakku telah sakit sejak lama, Lif. Kini aku harus berjuang tetap hidup bersama adik dan kakakku”. Begitu tuturnya lugu kepadaku beberapa hari kemudian sambil tersedu sedan. “Dia orang yang kuat Lif, aku berharap dia segera bertemu ibu dan berbahagia di sana, biarlah aku disini yang merawat adik dan kakak,” ujarnya.
Ya Rabb, kini segalanya tidak akan pernah sama lagi. Di saat yang lain pulang dan menjumpai senyum bangga orangtua mereka, Ely hanya akan menemukan kekosongan. Hatiku hancur saat ia mengakui bahwa ia harus berjuang melawan penyakit yang telah mengalahkan ibunya. Lengkap sudah, kini dia harus mengambil peran sebagai ibu dan bapak bagi adiknya ditengah kondisinya yang sedang sakit. Dia tidak berkata apa-apa lagi, lalu dengan cepat kuraih pundaknya, kulihat dia tersenyum dan bersandar di bahuku. Lalu kami hanya diam sambil menahan tangis, berdua saja.
Pada akhirnya, tidak dapat kami hentikan keputusanmu untuk memilih jalan hidup yang lain. Bukan hanya karena adikmu yang kini menantikan kasih sayangmu sebagai pengganti bapak-ibu. Aku pun tahu, penyakit itu sedang menggerogoti kesabaranmu, sengaja sekali ingin membuatmu mengatakan kata “menyerah”. Tapi tak pernah ada kata menyerah dalam kamus kehidupanmu, dan aku telah membuktikannya. Mimpi yang sempat engkau rajut untuk Indonesia, untuk daerah tempat kelahiranmu, mungkin telah digantikan oleh mimpi-mimpi yang jauh lebih realistis. Tidak cukup ideal memang jika dibandingkan cita-cita mahasiswa saat ini, tetapi cita-cita itu telah bertransformasi hingga terasa jauh lebih tulus dan lurus.
Izinkan aku menulis ini, Ly. Agar orang tahu betapa kehidupan harus tetap dilanjutkan dan cita-cita harus tetap diperjuangkan. Tidak peduli sesulit apapun jalan dan kesulitan yang dihadapi. Terutama bagi kami yang hanya pergi ke kampus ini bermodalkan mimpi. Tak sedikit dari kami, mahasiswa TPB yang pulang karena telah kehilangan api yang menerangi mimpi itu. Aku ingin orang lain tahu, bahwa dari orang yang lurus dan optimis sepertimu, harapan akan selalu bisa digantungkan. Tidak ada yang salah dengan sebuah kegagalan, semuanya selalu menuntun kita menemukan kebenaran dan keberhasilan. Selamat merajut asamu kembali, kawanku. Tidak harus di kampus ini, tidak hanya di tempat ini, melainkan di mana pun engkau berada. Yakinkan diriku bahwa, engkau akan baik-baik saja.
Tak terasa sudah dua tahun kami tak bertemu. Kudengar dia telah hidup dengan lebih baik. Semoga segala mimpi-mimpi kecilnya nan lurus mampu menggetarkan langit. Kehidupannya yang memilukan telah membentuk hatiku. Dari dirinya aku belajar mengenai ketulusan, kesetiaan dan kesabaran tanpa batas. Setiap hari yang kuhabiskan dengannya, kini senantiasa kusyukuri. Ku yakin sekali bahwa, bapak, Ibu, TPB , bahkan kanker sekalipun tidak akan pernah membuatmu putus asa dari kehidupan ini. Terima kasih telah memberikan motivasi besar bagiku. Sampaikan salamku kepada liku kehidupanmu yang berhasil membuka mata hatiku. Kehidupan baru yang kini kau jalani semakin membuatku mengerti, bahwa selalu ada kemudahan setelah muncul begitu banyak kesulitan. Selalu ada lembaran baru bagi orang yang optimis, tidak peduli seberapa sulitnya, menyakitkannya kehidupan ini, akan selalu ada kebahagiaan bagi orang yang bersabar.
Untuk setiap pilu yang kau rasakan, biarlah waktu yang akan menjadi obatnya. Sering aku mendengar betapa mahasiswa kini sering mengeluh. Aku pun sempat terjebak dalam lingkaran semacam itu. Tapi semuanya berubah ketika bertemu denganmu, karena likuku bahkan tidak sampai sepersepuluh liku kehidupanmu. Tidak ada yang kusesali, semuanya telah digariskan untukku. Suatu saat nanti, ketika Allah mengizinkanku, aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa ada seorang teman yang perangainya sungguh bak pahlawan. Dan engkau adalah seorang teman semacam itu.
Darinya aku belajar banyak hal. Hidupnya yang berliku lagi berurai air mata, telah membuka mata hatiku. Kehidupan harus terus dilanjutkan karena pilu akan terobati oleh waktu. Kini aku tak ragu lagi merajut asa yang dulu seringkali kukambinghitamkan ketika kegagalan menghampiriku. Dialah yang membantuku hingga sampai pada titik ini. Titik dimana, kami sepenuhnya sadar bahwa tidak akan ada masa depan untuk Indonesia tanpa ada mimpi dari generasi penerusnya. Dialah yang telah mengajariku untuk bermimpi, dan membuatku tersadar betapa berharganya sebuah mimpi itu. Karena bagiku, berhenti bermimpi adalah tragedi terbesar dalam kehidupan manusia.
“Biar kau tahu, Kal. Orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu” –Andrea Hirata: Sang Pemimpi.
Comments